Kalau kita perhatikan, secangkir kopi yang enak itu nggak pernah lahir dari proses yang asal-asalan. Biji dipilih satu per satu, disangrai dengan sabar, digiling halus, lalu diseduh dengan takaran yang pas. Ada sentuhan hati di setiap langkahnya.
Begitu juga bisnis.
Bisnis bukan cuma angka di laporan atau target yang harus dikejar. Ia punya rasa. Ada pahitnya, ada manisnya, dan kadang aromanya berubah tergantung bagaimana kita meraciknya setiap hari.
Kopi mengajarkan bahwa semua dimulai dari niat. Kita memilih biji terbaik, sama seperti kita memilih tujuan dan nilai dalam bisnis. Kalau dari awalnya sudah salah pilih, hasil akhirnya hampir pasti nggak akan memuaskan.
Lalu, ada proses menakar. Barista nggak pernah asal menuang. Semua diukur supaya rasanya seimbang. Dalam bisnis pun begitu—kapan harus gas, kapan harus ngerem, kapan perlu inovasi, kapan perlu tetap sederhana. Semua butuh kepekaan, bukan sekadar rumus.
Dan yang paling penting: kopi dibuat untuk dinikmati orang lain. Ada kebahagiaan ketika orang tersenyum setelah menyeruput kopi buatan kita. Bisnis yang baik juga tumbuh dari sana—dari keinginan untuk benar-benar melayani, membantu, dan menghangatkan hari orang lain.
Pada akhirnya, kopi mengingatkan kita bahwa kesederhanaan bisa punya makna besar kalau dibuat dengan hati.
Begitu juga bisnis. Yang membedakan bukan seberapa besar usaha kita, tapi seberapa tulus kita menjalaninya.
Karena baik kopi maupun bisnis…
keduanya baru terasa nikmat kalau diracik dengan hati.




