Ada beberapa pelajaran dari peristiwa isra’ dan mi’raj yang sudah kita bahas sebelumnya.
Pertama. Orang-orang yang mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kisah Isra dan menganggapnya aneh, mereka lupa tentang sesuatu yang penting yang dikemukakan pada ayat yang Allah Ta’ala firmankan,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَاۚإِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’: 1)
Allah-lah yang mengisra’kan hamba-Nya–Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam–tidak pernah mengatakan bahwa ia melakukan atas kemauannya sendiri. Orang yang mengingkari isra dan menganggap aneh sesungguhnya ia telah menyerang dan menyangkal kekuasaan Allah bukan kekuasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua. Peristiwa isra’ dan mi’raj dan sejumlah peristiwa aneh (mukjizat), Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam Fath Al-Bari (7:205),
وَجَمِيع مَا وَرَدَ مِنْ شَقّ الصَّدْر وَاسْتِخْرَاج الْقَلْب وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ الْأُمُور الْخَارِقَة لِلْعَادَةِ مِمَّا يَجِب التَّسْلِيم لَهُ دُون التَّعَرُّض لِصَرْفِهِ عَنْ حَقِيقَته لِصَلَاحِيَّةِ الْقُدْرَة فَلَا يَسْتَحِيل شَيْء مِنْ ذَلِكَ
“Semua peristiwa seperti pembelahan dada, dikeluarkannya hati, dan yang lainnya wajib diterima tanpa harus menyangkalnya atau menafsirkannya karena kemampuan Allah yang sangat mungkin, tidak ada satu pun yang mustahil dalam hal ini bagi Allah.”
Ketiga. Di antara hikmah Isra’ sebelum Mi’raj adalah keinginan untuk memperlihatkan kebenaran bagi para penentang yang ingin memadamkannya. Sebab, seandainya dimi’rajkan terlebih dahulu dari Makkah ke langit, maka tidak ada peluang bagi para pembakang untuk meminta penjelasan. Ketika beliau menceritakan bahwa beliau diisrakan ke Baitul Maqdis, mereka pun menanyakan detailnya, karena mereka pernah melihatnya dan mereka mengetahui bahwa beliau belum pernah melihatnya. Namun, ketika beliau menceritakan, terbuktilah kebenaran ceritanya tentang Isra’ ke Baitul Maqdis. Apabila cerita tersebut benar, maka benarlah semua cerita beliau. Lihat Fath Al-Bari, 7:200-201.
Keempat. Isra’nya beliau ke Baitul Maqdis kemudian Mi’krajnya ke langit merupakan bukti bahwa masjid tersebut memiliki kedudukan yang penting dan strategis yang hal ini harus dipahami oleh umat Islam di mana pun. Jangan sekali-kali menyepelekan keberadaan Masjid Al-Aqsha karena ia juga merupakan kiblat yang pertama di samping tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil yang menunjukkan kemuliaan Masjid Al-Aqsha adalah tiga hadits berikut.
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, shalat dibagi menjadi tiga periode, puasa juga dibagi menjadi tiga periode. Adapun periode shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, lantas beliau shalat selama tujuh belas bulan menghadap Baitul Maqdis. Kemudian turunlah firman Allah,
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabbnya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144). Maka ketika itu Allah memerintahkan untuk menghadap Makkah. Inilah periode pertama. (HR. Ahmad, 5:246).
Dalam hadits Abu Darda’ secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) disebutkan keutamaan shalat di Masjidil Aqsha,
وَالصَّلَاةُ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ بِخَمْسِمِائَةِ صَلَاةٍ
“Shalat di Baitul Maqdis sama seperti mengerjakan lima ratus shalat.” (HR. Al-Bazar, Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dan dihasankan oleh Al-Bazar).
Tentang sejarah Baitul Maqdis dan Masjidil Haram disebutkan dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ مَسْجِدٍ وُضِعَ فِى الأَرْضِ أَوَّلُ قَالَ « الْمَسْجِدُ الْحَرَامُ ». قُلْتُ ثُمَّ أَىٌّ قَالَ « الْمَسْجِدُ الأَقْصَى ». قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ « أَرْبَعُونَ سَنَةً وَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلاَةُ فَصَلِّ فَهُوَ مَسْجِدٌ»
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah masjid mana yang pertama kali ada di muka bumi?’ Jawab beliau, ‘Masjidil Haram.’ Aku berkata, ‘Terus masjid apa lagi setelahnya?’ Jawab beliau, ‘Masjidil Aqsha.’ Aku bertanya, ‘Berapa jarak antara keduanya?’ Beliau menjawab, ‘Sekitar empat puluh tahun. Tempat mana saja yang engkau dapati untuk shalat, maka shalatlah karena itu masjid.’” (HR. Muslim, no. 520)
Sumber : rumaysho